Sebuah perusahaan investasi bodong di yang bermarkas di Jakarta, kini makan ribuan korban di NTT.
Perusahaan bernama Risetcar dengan modus menginstal aplikasi, lakukan top up saldo, member akan mendapatkan bonus dan bunga, kini katanya bangkrut dan uang anggota hilang semua.
Sekitar 3000 lebih anggota uang hilang. Karena mereka tidak tau kemana harus mengadu, karena perusahaan itu ilegal dan bodong.
Koordinator Wilayah Diminta Bertanggung Jawab
Mantan Anggota DPRD Sabu Raijua bernama Eduard Lukas menjadi biang masalah ini. Dia jadi koordinator dan promotor dari investasi bodong ini. para anggota kini memburu Lukas untuk minta uang mereka kembali.
Sementara itu, Lukas berkelit, ia juga jadi korban dan investasi bodong ini.
Dari Aksi Sosial ke Jerat Pidana: Mengurai Peran Eduard Lukas dalam Skema Risetcar!
Investasi yang mengatasnamakan Risetcar mulai dikenal di Kabupaten Sabu Raijua setelah dibawa masuk oleh Eduard Lukas bersama beberapa rekannya. Eduard dikenal sebagai pengusaha sekaligus mantan anggota DPRD, dan dalam struktur organisasi Risetcar ia menjabat sebagai Ketua Wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) serta admin wilayah.
Dalam kapasitas ini, Eduard aktif mempromosikan dan mengajak masyarakat untuk bergabung, baik melalui penjelasan langsung maupun penawaran tidak langsung yang menggambarkan investasi ini sebagai peluang menguntungkan. Meskipun ia tidak memaksa, cara penyampaian dan posisinya sebagai tokoh publik membuat banyak orang percaya.
Awal kemunculannya di Sabu Raijua ditandai dengan kegiatan sosial berskala cukup besar, seperti pembagian sumbangan ke sejumlah desa.
Aksi sosial ini membentuk citra positif di mata masyarakat, meningkatkan rasa percaya, dan menjadi bukti awal bahwa Risetcar “mampu memberi manfaat nyata”.
Ditambah lagi dengan adanya bukti penarikan uang, pembagian hadiah seperti HP dan emas kepada anggota, informasi tentang keberhasilan ini menyebar luas dari mulut ke mulut. Efeknya, jumlah pendaftar melonjak hingga ribuan orang.
Masyarakat yang bergabung memiliki motif yang beragam. Ada yang sadar bahwa investasi ini berisiko tinggi atau bahkan ilegal, tetapi tetap ikut dengan harapan “hoki-hokian” agar bisa balik modal cepat sebelum berhenti. Ada pula yang awam dan sama sekali tidak memahami aspek legalitas maupun risiko, sehingga rela meminjam uang atau menguras tabungan untuk “top up”.
Perbedaan latar belakang ini menunjukkan variasi tingkat literasi keuangan dan hukum, tetapi benang merahnya adalah ketidakpahaman risiko yang seimbang.
Dalam konteks hukum, ini menjadi masalah serius karena penawaran disampaikan tanpa informasi memadai tentang risiko, melainkan didominasi janji keuntungan besar dalam waktu singkat.
Pola seperti ini masuk dalam kategori penyesatan informasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 9 dan Pasal 10 UU Perlindungan Konsumen, dan Pasal 28 ayat (1) UU ITE yang melarang penyebaran informasi menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen.
Dari sisi hukum perdagangan, skema yang dijalankan Risetcar memiliki ciri khas skema piramida/money game, di mana bonus perekrutan anggota baru dan pencapaian level lebih dominan dibandingkan hasil usaha riil. Berdasarkan Pasal 9 ayat (2) jo. Pasal 105 UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, pelaku usaha yang menjalankan skema piramida dapat dipidana hingga 10 tahun penjara dan denda Rp10 miliar.
Penawaran “hak pendapatan” kendaraan dengan imbal hasil harian yang tetap juga berpotensi melanggar UU Pasar Modal jika tidak memiliki izin OJK, karena masuk kategori penawaran efek. Dalam sistem pidana Indonesia, tidak hanya manajemen pusat yang dapat dimintai pertanggungjawaban.
Pasal 55 KUHP menyatakan bahwa siapa pun yang turut serta melakukan atau membantu tindak pidana dapat dihukum sama seperti pelaku utama. Eduard, dengan kapasitasnya sebagai ketua wilayah dan perekrut aktif, berada dalam posisi yang dapat dianggap sebagai turut serta (medepleger) atau membantu melakukan (medeplichtige) tindak pidana, karena ia memberi kesempatan, sarana, dan keterangan yang membuat banyak orang tertarik ikut.
Dalih Eduard bahwa ia juga korban dan mengalami kerugian tidak otomatis menghapus pertanggungjawaban pidana. Dalam hukum pidana, seseorang bisa menjadi korban sekaligus pelaku jika ia secara sadar menyebarkan atau memperluas tindak pidana yang merugikan orang lain.
Terlebih, perannya sebagai pemimpin wilayah membuatnya memiliki tanggung jawab lebih besar dibandingkan anggota biasa. Aksi sosial yang dilakukan di awal juga dapat menjadi alat bukti pola perekrutan, karena bantuan yang diberikan justru memperkuat citra positif dan memancing lebih banyak orang untuk bergabung, apalagi di daerah yang tingkat literasi keuangannya rendah. Jika terbukti bahwa dana aksi sosial atau hadiah tersebut berasal dari iuran anggota lama untuk menarik anggota baru, ini menguatkan bukti pola money game.
Secara pembuktian, minimal dibutuhkan dua alat bukti sah sesuai Pasal 184 KUHAP untuk menjerat Eduard, misalnya keterangan saksi yang diajak langsung oleh Eduard, ditambah bukti percakapan, materi promosi, atau rekaman video saat ia melakukan sosialisasi.
Jika unsur keterlibatan aktif, penyesatan informasi, dan perekrutan dalam skema ilegal terpenuhi, maka Eduard dapat dijerat dengan kombinasi pasal dari UU Perdagangan, UU ITE, UU Perlindungan Konsumen, bahkan UU Pasar Modal, dengan ancaman pidana yang berat.
Dengan demikian, publik perlu memahami bahwa peran seorang perekrut atau ketua wilayah dalam investasi ilegal bukan sekadar “menyampaikan informasi”, tetapi dapat berkonsekuensi hukum serius ketika informasi yang disampaikan menyesatkan dan menyebabkan kerugian massal. Sumber: mex dodo