Saya menulis ini dengan air mata yang tertahan.
"Saksi yang Memanusiakan Manusia”
Dari antara semua saksi yang hadir, hanya dia yang benar-benar tulus dan berani. Dia bukan siapa-siapa—bukan anak jenderal, bukan darah bangsawan—tetapi di dadanya bersemayam keberanian yang tak dimiliki banyak orang.
Dia menolak saat seniornya menyuruh membeli rokok. Bukan karena takut, tapi karena tahu rokok itu akan digunakan untuk menyiksa—untuk membakar tubuh dua rekan yang ia cintai seperti saudara: almarhum Prada Lucky Namo dan Prada Richard Bulan.
Ketika yang lain diam, dia justru menginisiasi hal kecil yang berarti besar: mengumpulkan uang untuk membeli minyak, sekadar untuk meringankan rasa perih di tubuh kedua sahabatnya yang terbakar dan babak belur oleh tangan para senior.
Malam itu, ketika luka dan tangis menjadi satu, dia datang membawa selembar selimut. Ia membentangkannya pelan di atas tubuh Lucky dan Richard. Ia tak pergi. Ia rebahkan tubuhnya di antara mereka, agar kehangatan tubuhnya sedikit mengusir dingin dan rasa sakit yang tak sanggup diobati oleh apa pun.
Kemarin, air matanya jatuh ketika menceritakan semuanya di hadapan hakim.
Suaranya bergetar, tapi kebenaran yang keluar dari bibirnya tegas, jujur, dan tajam. Ia bersaksi bukan karena ingin dianggap pahlawan, tapi karena nuraninya berteriak agar keadilan tidak terkubur oleh dusta para “robot” berwujud manusia—mereka yang berseragam, tetapi kehilangan hati.
Saudaraku, engkau telah menunjukkan pada dunia bahwa kemanusiaan belum sepenuhnya mati.
Engkau adalah manusia yang memanusiakan manusia. Dan di tengah gelapnya kezaliman, keberanianmu adalah cahaya yang akan selalu dikenang.
